Misalnya anak Ibuk yang baru berumur empat atau lima tahunan, pulang dari maen ke rumah tetangga, tiba-tiba bertanya,"Mak, seks itu apa sih?" Aduuh..kayak ditabok gak tuh, Buk? Aku yakin, telinga, kepala dan dada, rasanya kayak mengeluarkan hawa panas. Lalu pikiran langsung bergentayangan,"Ih, tadi denger apa anakku di sana, ya? Nengok apa dia di sana? Ngapain aja tetangga tadi?" Aduaduadu..panik! Nggak bisa disalahin juga sih reaksi terkejut seperti itu. Budaya orang zaman dulu, anak tidak boleh bicara urusannya 'orang besar'. Belum-belum langsung dibilang 'pantang', diancam mulutnya mau dicabein, ngomongin itu dianggap tabu, akibatnya, anak bahkan tidak tahu menyebut bagian tubuh mereka sendiri. Padahal bisa saja, anak baru mendengar orang-orang dewasa ngobrol, kalimat yang diucapkan memancing kehebohan, karena menimbulkan kasak-kusuk, tertawa cekikikan, akibatnya mengundang rasa ingin tahu si anak. Pahamlah kita, ya, kek mana kalau orang d
Kurasa semua orang sepakat, bahwa tiap sudut wilayah baik di kota maupun desa, menjamur kafe-kafe cantik, berdesain kontemporer, modern atau minimalis, ada yang mengusung konsep tradisional, juga ada yang tetap mempertahankan gaya arsitektur zaman kolonial. Dulu kita menganggap, cuma di kota yang pantas dibangun tempat-tempat nongkrong semacam itu. Anggapan itu sejalan dengan penilaian, kalau orang kota sibuk bekerja, daripada terjebak macet dan lelah di jalan, lebih baik makan terlebih dahulu, pulang-pulang dalam kondisi perut kenyang. Dulu, orang datang ke restoran atau warung memang untuk membeli makanan. Ada juga yang makan di tempat jualannya, selesai makan langsung pulang, atau beli untuk dibawa pulang, makannya di rumah. Yang namanya duduk berlama-lama rasanya jarang sekali, palingan makan bersama kawan, ngobrol sebentar, tidak lama kemudian, keluar, segan berlama-lama. Sekarang kedai atau tempat minum, yang lebih akrab di telinga dengan sebutan kafe, didesain agar pengu